pemberdayaan perempuan dan pengembangan kepemimpinan untuk demokratisasi

Indonesia: Lita Anggraini: PRT Melawan Diskriminasi Melalui Sekolah PRT

Published Date: 
Wednesday, April 29, 2015
Source: 
IWE

[[{"type":"media","view_mode":"media_large","fid":"825","attributes":{"alt":"","class":"media-image","height":"465","typeof":"foaf:Image","width":"620"}}]]

LITA ANGGRAINI JALA PRT: ‘Melawan Diskriminasi Melalui Sekolah PRT’

KBR68H, Jakarta – Sekitar 25 Pekerja RumahTangga berkumpul di ruang tengah tempat kursus bahasa Inggris di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Mereka asik bertukar cerita sambil menunggu dimulainya kursus.

Tepat pukul 7 malam, mereka naik ke lantai dua. Peserta kursus dibagi menjadi dua kelas. Pelajaran malam itu lebih banyak diskusinya. Ini dilakukan agar para PRT itu berani berbicara dalam bahasa Inggris.

Mereka tergabung dalam Serikat Kerja PRT Sapulidi dan Peserta Sekolah PRT Sapulidi. Sebagian besar bekerja di rumah orang asing (ekspatriat), sehingga kemampuan berbahasa Inggris sangat diperlukan untuk berbicara dengan majikan.

“Bisa ngomong Inggris itu penting untuk negosiasi sama majikan. Kita jadi bisa menyampaikan hak (PRT). Kalo tidak bisa ngomong, kita kan tidak bisa negosiasi macam-macam, seperti gaji,” ungkap beberapa peserta kursus.

Yang ikut kursus ini adalah mayoritas PRT yang tidak menginap atau pulang hari. Mereka belajar bahasa Inggris seminggu dua kali. Semua biaya ditanggung oleh Jaringan Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).

Memperjuangkan Hak PRT

RTND lah yang menggagas sekolah ini dan dikembangkan oleh Jala PRT. Selain di Jakarta, sekolah serupa juga ada di Semarang dan Yogyakarta. Nantinya juga bakal dibuka di Medan, Surabaya dan Mataram.

Aktivis Jala PRT, Lita Anggraini ikut terlibat dalam pembentukannya. Ia sudah lebih dari 20 tahun mendampingi para pekerja rumah tangga. Lita paling semangat menuntut adanya Rancangan Undang-Undang PRT.

Lita ikut mendirikan LSM yang juga menyuarakan hak PRT Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) di Yogyakarta pada 1995. Dia datang ke Jakarta dan membangun Jala PRT, yang memayungi 35 LSM serupa di seluruh Indonesia.

Lita mengatakan, sekolah itu dibentuk sebagai salah satu sarana untuk memperjuangkan hak-hak PRT. Menurutnya, para PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak. Ditambah lagi, tidak ada batasan mengenai standar normatif ketenagakerjaan. Misalnya soal libur mingguan, upah layak, jaminan sosial, cuti tahunan, serta hak untuk berorganisasi dan menyuarakan pendapat.

“Banyak pelanggaran yang mereka alami seperti eksploitasi, kekerasan, perbudakan. Ada banyak bentuk kekerasan, seperti kekerasan ekonomi, seksual hingga fisik. Ini yang mendasari adanya sekolah buat PRT,” ungkapnya.

Kata dia, tuntutan pemenuhan hak dan situasi kerja yang layak bagi PRT tak bisa dilakukan tanpa melalui pendidikan. Upaya melakukan perubahan sosial harus dimulai dari perubahan di tingkat individu dan kemudian secara kolektif.

Di sekolah ini PRT bisa belajar memetakan masalah sampai membentuk organisasi untuk bersama-sama menyuarakan persoalan mereka ke majikan hingga pemerintah.

“Karena posisinya sebagai perempuan dan pekerja maka aspek pendidikannya harus menyentuh tentang hak-hak asasi. Bagaimana kalau ada kasus upah tak dibayar. Bagaimana menyuarakan tuntutan agar upah itu dilunasi.”

Para PRT belajar hak-hak, belajar advokasi, bagaimana menghadapi kasus kekerasan fisik, upah yang tak dibayar sampai cara membuat laporan ke polisi dan menjaga barang bukti. Dari sekolah ini PRT mulai berani menyuarakan hak-haknya.

“Ada kasus PRT diberhentikan dan gaji tak dibayar. Teman-teman yang lain ikut membantu agar PRT itu menuntut upahnya. Dia mengambil risiko meski sudah dilarang masuk oleh pihak keamanan apartemen tempat majikannya tinggal karena dianggap mengganggu penghuni lain. Akhirnya dia mendapatkan upahnya.”

Membujuk Majikan dan Suami

Selain membangun penyadaran hak-hak PRT, sekolah ini juga memberikan pelajaran formal. Di Yogyakarta, misalanya ada pendidikan keahlian kerja yang berkaitan dengan lingkungan. Misalnya bagaimana cara mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia saat membersihkan rumah atau mencuci pakaian, atau cara membuat makanan sehat.

Sekolah ini juga menjadi batu loncatan PRT yang ingin melanjutkan pendidikan. Di Yogya ada PRT yang tamatan SD bisa meneruskan program kejar paket B dan C. Bahkan ada yang sampai ke perguruan tinggi dan lulus.

Namun hampir semua PRT mendapat halangan dari majikan untuk sekolah. Kata Lita, fakta ini sangat bertolak belakang dengan pendapat umum bahwa di Indonesia, PRT sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga. Nyatanya, mereka direkrut dari agen bukan untuk dijadikan saudara, tapi memang untuk bekerja.

“Kasus di Yogyakarta ada PRT anak yang ingin ikut sekolah dipersulit. Awalnya sang majikan mengizinkan namun saat akan mengikuti program kejar paket yang seminggu dua kali mereka diberi tugas. Ada juga yang terang-terangan melarang. Ada juga yang membolehkan pergi, tapi ketika pulang PRT itu diintimidasi, dicemberuti. Sampai yang paling parah diminta memilih terus sekolah atau berhenti bekerja.”

Ada beberapa yang mengambil risiko, nekad bersekolah dan akhirnya dikeluarkan. Ada juga yang siap menerima tekanan psikologis dari majikan sampai akhirnya sang majikan berubah pendiriannya.

“Itu memerlukan perjuangan tersendiri. Tidak mudah tinggal di rumah orang dan kita didiamkan, sangat tidak nyaman. Ini yang tidak pernah dirasakan masyarakat, pemerintah dan DPR.”

Selain majikan, para PRT itu juga harus mampu membujuk suaminya. Kata Lita, ada suami yang cemburu karena istrinya lebih banyak kegiatan di luar. Hambatan dari suami itu menjadi bagian dari pendidikan tentang hak perempuan dan bagaimana memperjuangkan hak mereka dari mulai lingkungan keluarga.

Berhimpitan di Ruang Sempit

Masalah yang dihadapi sekolah ini adalah soal sumber daya, baik dana maupun pendamping yang memberi pelajaran. Belum lagi direpotkan dengan urusan mencari tempat untuk berkumpul. Namun hambatan itu tak menyurutkan semangat PRT untuk berubah

“Awalnya kita sekolah di ruang sempit di rumah petak di kawasan Terogong. Ruang depan rumah petak tahu sendiri kan. Kita berkumpul 20 orang sampai berhimpitan. Sampai akhirnya kita dapat bantuan untuk menyewa ruangan sebagai sekretariat bersama untuk sekolah.”

Kata Lita, pendidikan di sekolah ini tidak berbatas waktu. Setelah menjalani pelajaran mengenai hak-hak pekerja selama enam bulan, para PRT mengikuti pelatihan agar bisa memberikan materi kepada teman yang lain.

“Tak ada kata selesai, karena sepanjang masalah diskriminasi pada PRT ada, sekolah ini akan terus berjalan,” tegasnya.

Ditulis oleh Antonius Eko – Portal KBR 68H

Issue: 
Partisipasi Publik dan Politik
Hak-hak Tanah dan Ekonomi