Développement de l’autonomie et du leadership des femmes pour la democratisation

Syarat Pendirian Rumah Ibadah Akan Dihapus

Published Date: 
Wednesday, January 20, 2016

[[{"type":"media","view_mode":"media_large","fid":"1145","attributes":{"alt":"","class":"media-image","height":"375","style":"display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;","title":"","typeof":"foaf:Image","width":"620"}}]]

 

JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan, dirinya bakal terus berkoordinasi dengan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menag tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Secara khusus, dia menilai salah satu syarat pendirian rumah ibadah harus disetujui 90 orang, tidak tepat.

“Soal SKB, kami terus kontak kepada Menag. Nanti kami kaji. Izin mendirikan tempat ibadah yang harusnya 90 orang harus dikurangi, kalau perlu enggak ada,” kata Tjahjo dalam pertemuan dengan Peserta Jambore Perempuan, di Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Jakarta, Senin (9/11).

Dia menyatakan, negara harus memberikan jaminan kebebasan untuk setiap warga negara memeluk agamanya masing-masing. “Mau pengajian di mana, ibadah di mana, bangun gereja, bangun masjid di mana harus dijamin kebebasannya,” tegasnya.

“Ada orang bangun gereja, mayoritas memenuhi, kok dilarang kenapa? Karena namanya kiai ini. Lalu enggak boleh bangun masjid karena namanya Antonius ini. Ini masih terjadi di Indonesia,” tukasnya.

Menurutnya, saat ini sebetulnya masalah kerukunan umat beragama tidak perlu diperdebatkan. “Kalau bahas kerukunan lagi ya repot, mayoritas minoritas ya repot. Masing-masing punya hak,” imbuhnya.

Peserta Jambore yang bertemu dengan Mendagri sekitar 36 orang perempuan. Kaum perempuan yang hadir terdiri dari beragam latar belakang seperti buruh tani, pekerja rumah tangga serta aktivitas pejuang perdamaian dari Aceh.

“Kami telah banyak kajian perda (peraturan daerah) diskriminatif, sudah ditemukan Komnas Perempuan, kita kaji apakah perda diskriminatif konstitusional atau tidak atau perlu direvisi. Kami juga melakukan pendampingan kelompok minoritas beragama. Kami banyak menemukan, berkembangnya tafsir konservatif yang berujung pada kekerasan yang diilhami produk hukum nasional,” kata perwakilan perempuan dari Fahmina Institute, Alif.

Dia mencontohkan beberapa produk hukum itu seperti UU Nomor 1/1965 tentang Penodaan dan Penistaan. “Publik banyak menafsirkan sesat dari UU ini,” ujarnya.

Adapun produk hukum lainnya yakni SKB Mendagri, Menag dan Jaksa Agung tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. SKB tersebut mengilhami penyerangan dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah di sejumlah daerah.

Selanjutnya yang disoroti yakni SKB dua menteri yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah. “Kemudian SKB dua menteri. Ini telah menyebabkan umat Kristen tidak bisa beribadah.

Solusinya, kami minta kepada Mendagri segera melakukan sinkronisasi semua produk hukum dengan konstitusi negara dengan cara melakukan review dan pembatalan produk hukum yang terbukti memicu diskrimnasi,” ucapnya.

 

Sumber berita: http://www.kemendagri.go.id/news/2015/11/09/syarat-pendirian-rumah-ibada...

Issue: 
Partisipasi Publik dan Politik
Perdamaian dan Keamanan
Network Source: